Kamis, 23 Agustus 2007

Dilema...

Ketika Big Boss menyebut-nyebut nama saya dalam suatu rapat intern beberapa waktu yang lalu sebagai salah satu orang yang akan diberangkatkan dinas ke LN, saya gak begitu ngegubris. Karena buat saya, omongan yang kayak gitu belum tentu bener dan gak usah dipegang meskipun diucapin di depan banyak orang, karena yang namanya birokrasi terkadang punya banyak cara untuk "menyenangkan" hati pegawai walaupun pada kenyataannya akan berubah 180 derajat, ya hanya sekedar omongan semu. So, i really didn't pay attention to what he said,

Jadi, saya bener-bener lupa akan omongan si bos tentang dinas LN itu. Sampai siang ini, saya bertemu dengan rekan kerja saya, yang pada intinya, dia punya daftar nama orang-orang yang akan berangkat ke LN pada tahun ini, and i'm on the list! Tapi tetep...saya gak percaya, dan hanya menanggapi dengan ringan. Sampai akhirnya, tadi Big Boss manggil saya ke ruangannya, dan dia meminta bantuan saya untuk mengerjakan beberapa hal sehubungan dengan tugas saya, ok...it's not problem at all, i'm working on it. But in the end of our conversation, he mentioned it again! Oh No...it turns to become reality.

Dilema. Antara profesionalitas dengan keluarga. Which one will come first? Kalo jaman masih gadis kayak dulu, mungkin kesempatan kayak gini gak akan disia-siain, dengan sangat gembira, i will say yes! Tapi sekarang...keadaan udah banyak berubah, saya punya satu anak yang masih kecil yang pasti akan ngerasa keilangan kalo mamanya pergi dan tentu mamanya juga ngerasain hal yang sama (walaupun cuma 5 hari), suami yang saya kangenin, plus hamil muda. Terlalu banyak yang saya korbanin demi pekerjaan kantor. Tapi bagaimana dengan profesionalitas kerja? Kinerja dan imej yang saya hadapkan ketika saya menolak tugas ini? Walaupun Alhamdulillah lingkungan pekerjaan saya sangat supportive terhadap seorang ibu. Tapi sedikit banyak hal ini pasti akan mempengaruhi penilaian kinerja saya. Belum lagi, mungkin ini merupakan kesempatan yang baik bagi saya untuk mengembangkan diri, dan gak jadi "katak dalam tempurung". But, once again, when it comes to family, i tend to refused and become unprofessional!

Gak tau deh keputusan apa yang akan saya ambil nanti, saya harus ngediskusiin hal ini sama suami, izin dari suami tentu jadi hal yang paling utama buat saya, dan dia biasanya punya penjelasan dan alasan yang bagus untuk saya dalam mengambil suatu keputusan dalam situasi seperti sekarang ini. I need his point of view!

Confused.....




Selasa, 21 Agustus 2007

Di Sudut Stasiun Jatinegara

Tadi malem, gak tau kenapa tiba-tiba saya teringat dengan salah satu sudut ruangan di Stasiun Jatinegara dimana dulu waktu jaman kuliah, merupakan tempat favorit saya menunggu kereta api Parahyangan yang akan membawa saya kembali ke Bandung, kota dimana saya menimba ilmu (yang kalo dipikir-pikir ternyata hasil timbaan ilmu yang dibawa pulang gak penuh, alias cetek) :D.

Ada satu ruangan di Stasiun Jatinegara yang menurut saya cukup nyaman untuk menunggu. Karena hampir semua sudut di stasiun jatinegara bukan tempat yang nyaman untuk menunggu dan terutama bagi seorang perempuan. Ada sih deretan bangku-bangku yang bisa diduduki, tapi selama kurang lebih 4 tahun saya berkeliaran di stasiun jatinegara, saya hampir tidak pernah mendapati bangku-bangku itu kosong, selalu penuh. Stasiun Jatinegara memang salah satu stasiun yang padat. Awal-awal kunjungan saya ke stasiun jatinegara saya gak tau kalo ruangan yang akhirnya jadi favorit saya itu bisa dimasuki semua orang. Saya pikir, karena namanya "Executive Room" maka yang boleh masuk hanya orang-orang yang punya tiket dengan kelas Executive. Ndeso sekali ya saya :D

Tapi ternyata pemahaman saya salah, setelah saya mengamati beberapa kali perputaran orang yang keluar masuk ruangan itu, dan di kelas apa mereka duduk di kereta, maka jelaslah bagi saya, bahwa ruangan itu diperuntukkan untuk semua orang, hanya saja tergantung bangku yang tersisa.

Pertama kali saya masuk ke ruangan itu, saya ragu-ragu dan menatap ke semua sudut ruangan, apakah saya bener-bener bisa berada disini? (karena tiket yang saya punya hanya kelas bisnis, maklum mahasiswa kere :p) Tapi hati kecil saya bilang maju terus pantang mundur! Dan memang saya gak salah, gak ada yang protes saya duduk disana, gak ada pemeriksaan tiket dan segala macamnya. Ah....aman....dan....nyaman. Dibandingin dengan keadaan di luar ruangan itu, memang ruangan itu sangat nyaman. Ber-AC, ada tivi yang selalu stand by, ada kantin kecil di sudut ruangan, membuatku nyesel, kenapa baru sekarang aku masuk ke "oase" ini. Mulailah setiap kepulangan saya ke rumah dan harus kembali ke Bandung dan menunggu KA Parahyangan, saya selalu masuk ke ruangan itu. Saya sampai hapal muka orang-orang yang keluar masuk ruangan itu, karena wajah-wajah itu kadang berganti kadang sama dengan kedatangan saya sebelum-sebelumnya. Belum lagi dengan penjaga kantin dan penjaga ruangan itu, saya kenal betul, karena saya sering ngobrol dengan mereka.

Memperhatikan tingkah laku orang-orang di ruangan itu sungguh kegiatan yang menyenangkan bagi saya, ada yang tidur, ada yang sibuk sms-an, ada yang sibuk telponan, ada yang asik nonton TV, ada yang makan Indomie di sudut sana, ada yang asik pacaran (ehm!), seribu satu ragam warna yang menarik untuk diamati. Dan yang paling penting, saat itu menunggu bukan lagi kegiatan yang membosankan bagi saya!

Kembali ke masa kini, saya gak pernah lagi menjejakkan kaki disana, tepatnya di Stasiun Jatinegara. Saya ingat, terakhir kali sekitar 4,5 tahun yang lalu, setelah liburan terakhir saya (sebagai seorang gadis single meskipun ada embel-embel "pacar seseorang") di Bandung berakhir. Dan sampai sekarang, saya gak pernah berkesempatan mengunjungi ruangan itu lagi. Apakah ruangan itu masih tampak sama? apakah penjaga ruangan dan penjaga kantin masih orang yang sama? apakah suasananya masih sama?

Hmmmm...jadi kangen.....kapan ya bisa kesana lagi?

Senin, 20 Agustus 2007

I Don't Know How to React.....

Sebenernya berita ini udah terbit dari hari Jum'at yang lalu. Tapi baru sempet kontemplasi sekarang. Berita tentang apa?

2008, Gaji PNS Naik 20%.

Hmmm...ketika baca berita tentang itu di hampir semua surat kabar, saya gak tau mesti bereaksi seperti apa. Senangkah? (karena saya juga PNS) sedihkah? (karena biasanya kenaikan gaji PNS dibarengi dengan kenaikan harga bahan-bahan pokok RT yang semakin membuat kondisi rakyat Indonesia (terutama kaum marjinal) semakin terpuruk...) atau pusingkah? (sebagai seorang nyonya rumah tangga, tentunya dengan kenaikan harga meskipun hanya sebesar 1 Rupiah, bikin kepala nyut-nyutan mengatur keuangan keluarga).

Bukannya saya tidak bersyukur karena gaji PNS yang kebetulan saya bernaung dalam korps itu akan dinaikkan. Bukan...bukan itu. Tapi pantaskah saya bersyukur ketika di sudut sana teman-teman saya sesama ibu rumah tangga lainnya mengeluh tentang kenaikan harga yang berimbas kepada keuangan keluarga? Tak terkecuali saya sendiri, saya pun pasti akan ngerasain hal yang sama dengan ibu-ibu rumah tangga lainnya walaupun gaji saya naik 20%. Ah...rasanya hati saya semakin menciut.

Kenaikan gaji 20%, tidak seimbang dengan kenaikan harga yang juga melambung tinggi. Gak beda dengan diskon atau sale di mall-mall terkemuka yang menaikkan harga terlebih dahulu sebelum menetapkan harga diskon. it means nothing.

Disamping itu, apakah pantas kenaikan gaji 20% ini diberikan kepada seluruh PNS? Sudah jadi rahasia umum, banyak PNS yang hanya magabut, alias makan gaji buta. Sementara, di sisi lain, rekan-rekannya sesama PNS sangat produktif, bekerja untuk lembaga demi Indonesia yang lebih baik. Maka adilkah jika kenaikan gaji itu diberikan kepada seluruh PNS baik yang magabut atau yang produktif? Semuanya menjadi sumir. Dimanakah letak keadilan itu? Disamping memboros-boroskan keuangan negara, karena kabarnya, untuk kenaikan gaji ini, negara mengalokasikan anggaran yang cukup besar jumlahnya.

Saya pribadi berpendapat, jika memang kenaikan gaji PNS ini bermanfaat bagi banyak orang, tentunya saya juga ikut bahagia, tapi seringkali kenyataannya jauh panggang dari api.

So, i really don't know how to react......


Minggu, 19 Agustus 2007

My Wish List

Gak tau deh, akhir-akhir kok rasanya banyak banget kepengenan sesuatu yang sifatnya material (padahal biasanya saya ini orang yang gak banyak keinginannya) :D, kalo yang berupa keinginan terhadap suatu keadaan atau pikiran tertentu sih juga banyaaakkk, tapi kan sifatnya abstrak, dan biarlah disimpan dalam hati dan pikiran saya aja (mungkin suatu saat akan diungkapin juga disini, hanya tinggal tunggu mood dan waktu yang tepat) :).

Coba di-list dulu deh :

1. Pengen parfum baru, secara parfum saya yang lama emang udah abis! (Alhamdulillah udah kesampean, hari Jumat kemarin dibeliin parfum sama suami di C&F Pelangi, makasih ya pa! i luv u deh! :)

2. Blender+Juicer, secara blender yang lama rusak. Jadi gak bisa nge-jus deh! (Rencananya tadi malem mo cari-cari blender di Hypermart, tapi karena anak saya belum tidur sampe jam 1/2 8, gak jadi dehhhh, kata suami, tunggu waktu yang tepat. Tapi berarti, mudah-mudahan keinginan saya akan segera terwujud yaaa, nunggu aba-aba dan titah dari baginda suami :p)

3. CD Michael Buble. (Haduuuuhhh, udah kurleb 2 mingguan nih kepengennya, tapi belum kebeli-kebeli aja euy! Uangnya kesedot buat yang lain-lain, mengingat ini bukan kebutuhan pokok, tapi masih kepengen...hiks....nunggu gajian ah, ntar gajian, langsung melesat ke toko kaset, cihuyyy!)

4. Makan di Yuraku Buffet BSD Junction. (Asliiiiii ngiler! pengen tau enak mana sama Hanamasa? secara saya dan suami emang penggila buffet dan yakiniku (maklum deh, sama-sama tukang makan :D) kira-kira kapan ya bisa makan disitu? hmmm....kilik-kilik suami ahhhh hihihi)

5. Novel Deception Point-nya Dan Brown. (Kemaren udah liat-liat di Bazaar Gramed BSD Junction, tapi karena ada buku lain yang lebih penting (tentang amalan bulan ramadhan dan kehamilan) jadi ditaro lagi deh 'tu buku. Lagi-lagi skala prioritas.)

Itu dulu deh daftar keinginan saya, entar kalo ada yang kelupaan tinggal nambah (nambah doang, tapi gak direalisasiin...hahaha)

Nabung yuk, nabung! :p

Oh...perutku!

Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya gak tau pastinya berapa usia kandungan saya, tapi angka kasarnya mungkin sekitar 6 minggu. Nah...di usia kandungan saya sekarang ini, entah kenapa, perut saya membesar dengan hebatnya! Beda banget dengan kehamilan pertama saya, dulu usia kandungan 6 minggu, belum terlihat perut saya menonjol, masih rata seperti biasanya. Tapi sekarang? Aduh! Kalo saya liat lagi buku-buku kehamilan dan foto ibu hamil dengan usia kandungan minggu per minggu, perut saya udah seperti ibu hamil dengan usia kandungan 17 minggu alias 5 bulan! Dan emang persis sama dengan perut saya dulu waktu hamil pertama ketika kandungan saya berumur 5 bulan. Bayangin...gimana ya kalo kandungan saya 5 bulan? atau malah 9 bulan? Hmmmmm.....*serasa bawa drum berjalan*

Terkadang khawatir juga sih, normal gak ya perut membesar dengan cepat gini? tapi setelah saya baca-baca lagi, banyak yang bilang, kalo kehamilan kedua itu, perut emang cepat membesar, mungkin karena elastisitas perut sudah berkurang, dan sisa-sisa dari "kegombyoran" hamil pertama, jadi perut mudah untuk membesar. Well, gak terlalu khawatir deh jadinya, diambil positifnya aja kali ya, berarti janin saya di dalam sana sedang berkembang, dan mudah-mudahan sehat!

Untuk sementara, nikmatin dulu deh perubahan perut saya di cermin, it's amazing you know? :)




My Sorrow and His Plan

Sampai hari ini, saya belum tau berapa umur kandungan saya tepatnya. Karena seperti yang saya bilang sebelumnya, pada waktu pemeriksaan USG pertama kali, kantung janin saya belum terlihat. Jadi dokter belum bisa memastikan umur kandungan saya, kalo pun dihitung secara kasar, masih sulit untuk menghitungnya, karena siklus haid saya tidak teratur. Tapi anggap saja, usia kandungan saya saat ini (dengan hitungan kasar yang dibuat oleh suami saya) adalah 6 minggu. Yang berarti 1,5 bulan. Oia, masalah hitung-hitungan kehamilan ini, ternyata suami saya jauh lebih jago dari saya. Malahan, dia tau masa subur saya! Jadi, kehamilan saya sekarang ini merupakan bukti perencanaan yang matang oleh suami. A baby made by my husband plan. (and ofcourse, by Allah gift).

Bicara tentang perencanaan, suami saya adalah orang yang penuh dengan perencanaan yang matang. He is a well-planned-kind of person. Saya gak pernah nemu orang yang penuh dengan perencanaan hidup sematang suami saya. Sehubungan dengan kehamilan saya ini, dia sudah punya rencana jangka pendek mengenai kehidupan kami. Misal, dia sudah menganggarkan sebagian uang diluar untuk tabungan kami yang lain, untuk biaya persalinan anak kami kelak. Jadi setiap bulannya (selama 9 bulan) dia akan memberikan saya sejumlah uang yang sama besarnya untuk ditabung. Padahal kami punya tabungan lainnya, tapi menurutnya, akan lebih baik kalo ada tabungan khusus untuk persalinan, we never know what will happen next....gitu katanya. Buat saya, sekali lagi, dia benar dengan segala perencanaan keuangan keluarga kami.

Contoh lainnya, dia sudah berpikir, bagaimana saya akan berangkat ke kantor ketika perut saya nanti semakin membesar. Selama ini saya memang mengendarakan mobil pribadi ke kantor, tapi saat ini, karena kandungan saya masih sangat muda, jadi belum ada masalah yang berarti. Tapi kalo kandungan sudah besar? One big mark question. Saya bilang sama suami, kalo kandungan saya gak ada masalah, saya bisa nyetir sendiri ke kantor sampe waktu cuti melahirkan, tentunya setelah konsul dengan dsog saya. Tapi keliatannya dia masih ragu-ragu, saya tau, ketika dia terdiam, dia berpikir keras mengenai baik buruknya apa yang saya ucapkan, dan jauh di sudut hatinya, dia udah punya rencana yang jauh lebih matang dari saya. Hanya menunggu waktu yang terbaik untuk mengungkapkan dan merealisasikannya.

Kekhawatiran terbesar saya saat ini adalah, berdasarkan perhitungan kasar, dan jika Allah mengizinkan, anak kedua kami akan lahir pada akhir April. Yang berarti, tepat pada masa kontrakan rumah yang kami tempati saat ini berakhir. And then, how can i deal with it? Gak terbayang kalo saya harus mengalami hal yang sama untuk kedua kalinya, dulu, waktu kelahiran anak pertama saya, hari pertama kepulangan saya dari RS, saya langsung pulang ke rumah baru kami setelah sebelumnya(sampai detik saya melahirkan) kami tinggal di rumah orangtua saya, bisa dibayangkan, dengan bayi baru dalam gendongan saya, dan rumah baru yang masih terasa asing, ditambah lagi barang-barang saya belum sepenuhnya dipindahkan ke rumah baru. Jadi, saya seringkali merasa frustasi jika membutuhkan barang-barang saya tapi tidak ada, ditambah kelelahan mengurus bayi dan menata rumah. Dan itu adalah salah satu faktor saya terjangkiti baby blues yang mengharu-biru. Dan kini....apakah saya harus mengalaminya lagi???

Ternyata, suami pun sudah memikirkan hal ini, dia sudah merencanakan kepindahan kami jauh-jauh hari sebelum saya melahirkan. Sehingga ketika saya melahirkan, kami sudah kerasan di rumah kontrakan yang baru. Thanks God. Tapi, pertanyaan berikutnya yang muncul, dalam keadaan hamil, tentu riskan untuk pindah rumah. Ah...begitu banyak pertanyaan-pertanyaan dan kekhawatiran saya, rasanya gak ada abis-abisnya. Untuk saat ini, anggap saja, suami saya juga sudah punya jawaban atas kekhawatiran lanjutan saya itu (and i believe he does!) dan biarlah saya menjalani dengan enjoy kehamilan saya ini, memberi nutrisi yang seimbang dan bergizi untuk janin dalam kandungan saya, mengasah kecerdasannya selama masih dalam kandungan, dan mengajaknya untuk dekat dengan Penciptanya. Selain saya masih punya satu anak lagi untuk diasuh, agar dia tidak merasa terabaikan dengan kehamilan mamanya dan merasakan kegembiraan yang sama dengan orangtuanya dengan kehamilan mamanya. Persoalan lainnya? Saya akan berusaha semaksimal mungkin menjalankan dan menyelesaikannya (seperti yang sudah-sudah) dan jika ada hal penting yang terlewat untuk saya pikirkan? Well....I count on you dear hub!